Jakarta – ketika perang di Ukraina terjadi secara militer, ternyata ada perang lain di udara yaitu perang narasi di media dan sosmed hal ini biasa di sebut Information War, ucap Fahd El Fouz A Rafiq, pada Selasa (13/9).
Ketua Umum DPP Bapera Mengatakan, “hal ini sama dengan di Indonesia masa kampanye masih lama untuk menjadi pejabat puncak di perpolitikan pilpres, masih beberapa tahun lagi tapi sudah terjadi perang, tentang siapa jagoannya yang layak dan tidak layak serta ada dorongan untuk memperpanjang jabatan presiden terus dimainkan di media, ucapnya.
Mantan Ketum PP AMPG Menambahkan, Mengapa barat dan sekutu adalah pengendali informasi dunia dan saat ini mereka yang menjadi pemenang dan mengatur informasi yang masuk ke kepala kita semua negara di seluruh dunia. Contohnya perang di Ukraina, beberapa bulan lalu media barat mengatakan, pasukan Putin dipermalukan oleh Ukraina. Lebih dari 10.000 tentara Rusia terbunuh oleh Ukraina. Sementara di pihak Rusia mengklaim sebaliknya hanya 500 tentara Rusia menjadi korban.
Diberita lain disebutkan Ukraina berhasil menghancurkan 300 tank Rusia, sementara Rusia mengatakan telah menghancur 900 tank Ukraina. Intinya media barat menyokong informasi kepada rakyat Ukraina dan dunia bahwa Ukraina berhasil mempertahankan tanah air mereka, sementara Rusia menginformasikan kepada rakyatnya pasukan pembebasan Rusia berhasil menaklukan sepertiga wilayah timur Ukraina yang membuat tanah air Rusia akan terlindungi dari serangan agresi NATO.
Mantan Ketum DPP KNPI menjelaskan, sebenarnya berapa korban perang dan tingkat kerusakan yang terjadi di Ukraina selama ini. Tidak ada yang tau pasti, tidak ada wartawan di Medan perang yang dapat memastikan kejadian yang tepat, tidak ada observer mandiri yang independent di Medan perang.
Kita juga tidak tau mana informasi yang di filter, mana informasi yang dimodifikasi, terutama di social media. Social media itu lever playing fieldnya berbeda, karena social media tidak lagi netral.
Kita membicarakan “Big Giant” raksasa media sosial seperti Twitter, google, Facebook, Apple dimana mereka mengambil posisi bersekutu dengan pihak barat. Mereka hanya memperbolehkan Narasi yang sejalan dengan media barat dan membatasi yang tidak sejalan dengan media barat.
Raksasa teknologi ini telah salah memperlakukan kenetralan media menjadi pengambil posisi sesuai dengan stake holder mereka, sehingga media dunia berada dalam satu sisi pandang yaitu maunya barat. Mereka menjadi penghakim mana yang boleh disiarkan dan mana yang tidak boleh. Sehingga dapat dipastikan ketika Amerika yang menjadi negara agresor apakah Amerika dikatakan menjadi penjahat perang ketika Amerika Menginvasi negara lain. Apakah para raksasa akan menghujat Amerika dan memberikan Sanksi ?
Perlu di ketahui bersama, berapa negara yang telah di Invasi Amerika atau ada Amerikanya yang sedang bertarung disana. Dari 193 negara yang diakui PBB. Amerika pernah dan lagi melakukan Invasi di 84 negara. Dan tidak ada satu pun Intervensi Amerika tersebut, dikatakan seperti apa yang Rusia lakukan ke Ukraina sebagai tindakan yang salah dan tindakan Criminal terhadap oleh Giant tech media tersebut.
Kemunafikan raksasa media ini karena mereka di bayar untuk memihak. Misalnya di tahun 2021 mendapatkan keuntungan yang sangat besar dalam mempromosikan “American War on Terror” . Kampanye anti teroris dan melabel teroris oleh Amerika terutama google, Facebook, Microsoft dan Amazon mereka dibayar sekitar 44 Billion (Hampir seperempat APBN Indonesia) dari Pentagon dan dari US Homeland security untuk mendapatkan akses data base, penyelidikan personal data, hingga penyebaran Narasi propganda.
Informasi itu menarget langsung hati dan pikiran dari para pengguna social media tersebut. Bayangkan, 2,7 Milyar manusia setiap hari menggunakan Facebook Instagram, 206 juta menggunakan Twitter setiap harinya. betapa dahsyatnya efek manipulasi data tersebut di dalam mengendalikan pembicaraan pengguna di social media disemua platform raksasa teknologi ini.
Para raksasa teknologi Informasi ini banyak memperkerjakan dan bekerja dan bekerjasama dengan kementrian pertahanan Amerika, departemen dalam negeri, Homeland Security, NSA (National Security Agency) Dan FBI nya departemen kehakiman Amerika. Ada Jared Cohen, dari state departemen atau kementrian luar negeri sebagai ketua kebijakan Internasional sekarang dia aktif di google untuk Counter Terrorism tool, ada Steve Pandelides bekerja di FBI selama 20 tahun sekarang aktif sebagai direktur sekuriti di Amazon, ada Joseph Rozek bekerja dikementrian pertahanan Amerika dan saat ini bekerja di Microsoft sebagai direktur Homeland Security. Ini hanya sedikit nama yang di ekspose namun ada ratusan nama orang penting yang berada di raksasa teknologi tersebut.
Semua itu dipakai untuk meluruskan pemahaman manusia di seluruh dunia akan Nation Interestnya Amerika dan barat adalah kebenaran hakiki, pahlawan dunia dan untuk kebaikan manusia. Dimana kita tahu ada sebuah diksi yang mengatakan siapa yang mengendalikan Informasi dialah Pengendali dunia. Itulah tujuannya mengendalikan informasi saat ini.
Menimbang dan memperbanyak merenung adalah salah satu cara agar kita tidak termakan propoganda yang bisa memecah belah bangsa dan negara, seperti banyaknya Narasi kebencian dan pemujaan terhadap satu sisi lainnya yang kita harus pilah dan keluarkan dari pikiran kita, tutup Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar.
ASW